BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Istilah
kurikulum semula berasal dari istilah yang dipergunakan dalam dunia atletik curere yang berarti “berlari”. Istilah
tersebut erat hubungannya dengan kata curier
atau kurir yang berarti penghubung atau seseorang yang bertugas menyampaikan
sesuatu kepada orang atau tempat lain.
Seorang kurir harus menempuh suatu perjalanan untuk mencapai tujuan, maka
istilah kurikulum kemudian diartikan orang sebagai “suatu jarak yang harus
ditempuh” (Nasution, 1980:5) Dari istilah atletik, kurikulum mengalami
perpindahan arti ke dunia pendidikan. Pengertian kurikulum yang tercantum dalam
Webster’s International Dictionary
yaitu curriculum is a course, a specified
fixed course of study, as in a school or college, as one leading to a degree. Kurikulum
kemudian diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang
ditempuh atau dikuasai untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau ijazah.
Perubahan
sospol dan tatanan budaya di Indonesia akhirnya menuntut perubahan paradigma
pendidikan nasional yang semula sentralisasi menjadi desentralisasi, semula
peran pemerintah (govermental role) menjadi peran masyarakat (community role).
Perubahan ini berpengaruh terhadap tatanan menajemen kurikulum.
B.
Rumusan
Masalah
a.
Apa Pengertian dari Manajemen Kurikulum?
b.
Apa pengertian dari kurikulum?
c.
Bagaimana Mengembangkan Kurikulum Muatan
Lokal ?
d.
Bagaimana mengembangkan kurikulum ?
C.
Tujuan
a.
Untuk mengetahui pengertian dari
Manajemen Kurikulum
b.
Untuk mengetahui pengertian dari
kurikulum
c.
Untuk mengetahui pengembangan Kurikulum
Muatan Lokal
d.
Untuk
mengetahui mengembangan kurikulum
BAB
II
PEMBAHSAN
A. Manajemen Kurikulum
Perubahan
sospol dan tatanan budaya di Indonesia akhirnya menuntut perubahan paradigma
pendidikan nasional yang semula sentralisasi menjadi desentralisasi, semula
peran pemerintah (govermental role) menjadi peran masyarakat (community role).
Perubahan ini berpengaruh terhadap tatanan menajemen kurikulum. Secara garis
besar kegiatan yang berkenaan dengan fungsi-fungsi manajemen kurikulum ialah :
1.
Mengelola perencanaan kurikulum
Pemerintah
pusat perlu merumuskan dan menetapkan kurikulum standar bersifat nasional yang
berfungsi sebagai acuan untuk pengembangan kurikulum pada tingkat satuan
pendidikan/sekolah.
2.
Mengelola implementasi kurikulum
Bentuk
implementasi kurikulum adalah kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru bersama
siswa untuk mencapai tujuan kurikulum yang telah ditetapkan. Sebuah
implementasi kurikulum harus dikelola secara profesional, efektif, dan efisien
yang mengacu pada empat pilar pendidikan dan konsisten dengan perencanaan
kurikulum yang telah dikembangkan, sehingga ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor yang ada pada tujuan dapat terwujud.
3.
Mengelola pelaksanaan evaluasi kurikulum
Kegiatan
evaluasi harus dilakukan secara sistemik, sistematis dan kompreherensif sesuai
dengan visi, misi, dan tujuan kurikulum. Salah satu pengaruh dari otonomi sekolah
terkait dengan evaluasi pembelajaran yaituguru harus dapat merumuskan
kisi-kisi, membuat instrument, dan melaksanakan evaluasi kurikulum serta
pembelajaran.
4.
Mengelola perumusan penetapan kriteria
dan pelaksanaan kenaikan kelas/kelulusan
Pelaksanaan
kenaikan kelas merupakan lanjutan dari proses evaluasi. Pemberlakuan sistem
KTSP menuntut perolehan hasil belajar yang tuntas. Sehingga penentuan kelulusan
harus disesuaikan dengan ketetapn yang berlaku.
5.
Mengelola pengembangan bahan ajar, media
pembelajaran, dan sumber belajar.
Media
belajar siswa tidak hanya dari buku, namun bisa menggunakan sumber belajar lain
yang sesuai dengan topik. Dengan kemajuan IPTEK yang semakin pesat, bisa
digunakan untuk media belajar seperti e-learning, ebook, dan lainnya.
6.
Mengelola perkembangan ekstrakurikuler
dan kokurikuler.
Keberhasilan
suatu kurikulum akan optimal apabila didukung oleh kegiatan ekstrakurikuler dan
kokurikuler yang dikelola secara efektif dan profesional.
B. Kurikulum
1.
Pengertian Kurikulum
Adanya
pergeseran pengertian tersebut juga terlihat pada definisi-definisi kurikulum
yang dikemukakan para ahli, misalnya menurut George A. Beauchamp yang
menjelaskan bahwa curriculum is all
activities of children under the jurisdiction of the school. Dalam
pengertian ini kurikulum mencakup segala kegiatan yang disediakan dan
direncanakan sekolah. Kurikulum tidak terbatas pada kegiatan saja, melainkan
mencakup seluruh pengalaman yang diperoleh siswa, baik intelektual, emosional,
sosial, maupun pengalaman lain. (Nurgiyantoro, 1988:2-4)
2.
Komponen-Komponen Kurikulum
Sebagai
sebuah sistem, kurikulum pastui memiliki komponen-koponen-komponen atau
bagian-bagian yang saling mendukung dan membentuk satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Komponen tersebut bersifat harmonis, tidak saling bertentangan.
Komponen-komponen tersebut meliputi:
a.
Tujuan
Ada dua tujuan yang terdapat dalam
sebuah kurikulum sekolah, yaitu sebagai berikut:
1)
Tujuan yang ingin dicapai sekolah secara
keseluruhan
Tujuan ini meliputi aspek-aspek
pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diharapkan dimiliki oleh
para lulusan sekolah yang bersangkutan. Itulah sebabnya tujuan ini disebut
tujuan institusional atau tujuan kelembagaan.
2)
Tujuan yang ingin dicapai oleh setiap
bidang studi
Tujuan ini meliputi aspek-aspek
pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diharapkan dimiliki oleh
para peserta didik dalam tiap bidang studi dan pokok bahasan.
b.
Isi
Isi program kurikulum adalah segala
sesuatu yang diberikan kepada anak dalam kegiatan belajar mengakar guna
meencapai tujuan yang meliputi bidang studi dan isi dari masing-masing bidang
studi. Ada juga yang menyebutnya silabus. Silabus dijabarkan dalam
bentuk—bentuk pokok bahasan dan sub-sub pokok bahasan serta uraian bahan
pelajaran.
c.
Organisasi
Organsisasi kurikulum adalah
struktur program kurikulum yang berupa kerangka program – program pengajaran
yang akan disampaikan kepada peserta didik. Organisasi kurikulum dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu struktur horizontal dan struktur vertikal.
1)
Struktur Horizontal. Struktur ini
berhubungan dengan masalah pengorganisasian kurikulum dalam bentuk penyusunan
bahan – bahan pengajarann yang akan disampaikan secara terpisah (separate subject), kelompok – kelompok
mata pelajaran (correlated), atau
penyatuan (integrated). Tercakup pula
jenis – jeis program yang dikeembangkan di sekolah misalnya program pendidikan
umum, akademi, keguruan, ketrampilan, dan lain – lain.
2)
Struktur Vertikal. Struktur ini
berhubungan dengan masalah pelaksanaan kurikulum di sekolah, apakah kurikulum
dilaksanakan dengan sistem kelas, tanpa kelas, atau gabungan antara keduanya.
Termasuk dalam hal ini adalah masalah pembagian waktu untuk masing-masing
bdiang studi di setiap tingkat.
d.
Strategi
Masalah strategi pelaksanaan dapat
dilihat dalam cara yang ditempuh untuk melaksanakan pengajaran, penilaian,
bimbingan dan konseling, pengaturan kegiatan sekolah secara keseluruhan,
pemilihan metode pengajaran, alat atau media pembelajaran, dan sebagainya.
(Surahmad, 1977:9)
3.
Asas Pengembangan Kurikulum
Dalam
pengembangan kurikulum ada asas – asas yang empat dasar yang dijadikan bahan
pertimbangan, yaitu:
a.
Dasar Filosofis
Tujuan pendidikan harus benar-benar
mencerminkan filsafat hidup bangsa. Di Indonesia, karena pancasila telah
disepakati dan diyakini bersama sebagai dasar ideal kerohanian, hukum dari
segala hukum, dasar segala tingkah laku, maka pancasila yang dijadikan dasar
acuan dan tujuan pendidikan. Sistem pendidikan yang ada harus mampu membentuk
manusia-manusia pancasilais sejati sesuai dengan pandangan hidaup bangsa
Indonesia.
b.
Dasar Psikologis
1)
Ilmu jiwa belajar. Diartikan sebagai
pengetahuan tentang bagaimana proses belajar itu berlangsung dalam diri
seseorang. Teori tentang proses belajar akan memengaruhi penyusunan dan
penyajian kurikulum secara efektif, juga akan menentukan pemilihan bahan
pengajaran yang harus disajikan.
2)
Ilmu jiwa anak
Pada dasarnya sekolah dan kurikulum
memang dipersiapkan untuk kepentingan anak dalam proses menuju kedewasaan dan
kematangan. Pengetahuan tentang anak mutlak diperlukan karena dari situlah akan
diketahui minat dan kebutuhannya sesuai dengan tingkat perkembangan jiwanya
yang bermafaat dalam proses penyusunan kurikulum.
c.
Dasar Sosiologis
Anak harus dipersiapkan untuk
terjun di masyarakat ngan dibekali kemampuan dan ketrampilan yang dibutuhkan
masyarakat, seperti norma, nilai, kebiasaan yang sesuai dengan keadaaan dan
pandangan masyarakat.
d.
Dasar Organisatoris
Organsisasi kurikulum adalah penyajian
program – program pengajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik yang
berupa struktur horizontal dan struktur vertikal, sama seperti penjelasan
sebelumnya dalam komponen-komponen kurikulum. (Nasution, 1980:10)
4.
Kedudukan Kurikulum untuk Mencapai
Tujuan
Hubungan antara
pendidikan dan kurikulum adalah hubungan antara tujuan dan isi pendidikan.
Suatu tujuan baru akan tercapai bila isi pendidikan tepat dan relevan dengan
tujuan tersebut. Atau dengan kata lain, hanya isi yang tepat atau kurikulum yang
sesuai yang akan mengantarkan ke arah tercapainya tujuan pendidikan.
(Nurgiyantoro, 1988:30)
Oleh
karena kurikulum merupakan isi dan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan,
sesungguhnya kurikulum menyangkut masalah nilai-nilai, ilmu, teori, skill, praktik,
pembinaan sikap mental, dan sebagainya. Hal itu berarti kurikulum harus
mengandung isi pengalaman yang bersifat membina kepribadian peserta didik untuk
merealisasikan tujuan pendidikan. (Brubacher, dalam Syam, 1978:46)
5.
Penilaian Kurikulum
Kegiatan
penilaian merupakan salah satu langkah dalam proses menyusun dan menyusun
kembali suatu kurikulum. Penilaian merupakan salah satu bagian yang tak
terpisahkan dalam pengembangan kurikulum. Penilaian perlu dilakukan terhadap
kurikulum baik yang sedang dikembangkan, dilaksanakan, maupun yang sudah
dicapai sebagai bahan masukan untuk melakukan modifikasi seperlunya.
a.
Proses Penilaian
Istilah penilaian bagi sebagian
orang dianggap sama dengan “tes” atau “pemberian nilai (grading)”. Penilaian
dapat diartikan sebagai “pemberian nilai (valuing) atau pertimbangan”, yang
dalam dunia pendidikan dapat berarti mempertimbangkan murid, guru, kegiatan
belajar mengajar, atau kurikulum. Dari sini dapat dimengerti bahwa penilaian
merupakan suatu proses, yaitu proses pembuatan pertimbangan terhadap suatu hal.
Pembuatan pertimbangan tersebut hanya dapat dilakukan jika ada masukan-masukan
yang berupa informasi. Oleh karena itu, sebelum membuat pertimbangan harus
didahului dengan kegiatan pengumpulan informasi. Berdasarkan informasi yang
terkumpul itulah dilakukan kegiatan pembuatan pertimbangan yang kemudian
dipakai sebagai dasar pembuatan keputusan. Proses penilaian yang demikian
sesuai dengan definisi evaluasi seperti yang dikemukakan oleh Cronbach (1963,
c.f. Saylor and Alexander, 1979:302) yang mengatakan bahwa penilaian adalah
proses pengumpulan dan penggunaan informasi sebagai dasar pembuatan keputusan
tentang program pendidikan.
1)
Model Penilaian Kurikulum
Model penilaian kurikulum disusun
untuk membantu dan memberikan informasi kepada para evaluator bagaimana
melakukan penilaian terhadap kurikulum dan pengajaran. Model penilaian
kurikulum menurut Robert E. Stake melalui artikel yang berjudul The Countenance
of Educational Evaluation (1967), model Daniel Stufflebeam selaku ketua Phi
Delta Kappa National Study Committee on Education (1971), dan model yang
dikemukakan oleh Terry D. Ten Brink (1974).
a)
Model Stake (The Stake
Congruence-Contingency Model)
Stake mengemukakan perlunya
pembedaan tindakan penilaian yang bersifat deskriptif dan pertimbangan
(judgement). Tindakan deskriptif dibedakan berdasarkan maksud tindakan itu dan
tindakan apa yang benar-benar diamati. Tindakan pertimbangan dibedakan
berdasarkan apakah tindakan itu menunjuk pada patokan yang dipergunakan atau
pada pertimbangan itu sendiri.
Ada tiga tahap dalam kegiatan
penilaian yang harus dilalui, yaitu anteseden (antecedents), transaksi
(transactions), dan keluaran (outcomes). Anteseden dideskripsikan sebagai suatu
kondisi sebelum dilakukannya kegiatan belajar mengajar, tetapi berpengaruh
terhadap keluaran. Transaksi merupakan proses pengajaran yang berupa komunikasi
guru dengan murid, murid dengan murid, pengarang dengan pembaca, juga termasuk
didalamnya alokasi waktu, urutan kegiatan, dan suasana sosial. Keluaran merupakan
sesuatu yang dicapai setelah dilakukannya program pengajaran yang meliputi
keterampilan, prestasi yang dicapai siswa, sikap, efek bagi guru dan lembaga,
dan aspirasi murid sebagai pengalaman pendidikan yang diterimanya (Saylor and
Alexander, 1974:304-305).
Proses evaluasi setelah data-data
diperoleh adalah dengan jalan membandingkan atau mencari kesesuaian
(congruence) antara apa yang diharapkan dengan apa yang senyatanya terjadi. Hal
itu tak hanya dilakukan terhadap keluaran saja tetapi harus juga terhadap dua
tahap sebelumnya, yaitu anteseden dan transaksi. Hal ini disebabkan seperti apa
wujud keluaran itu akan sangat dipengaruhi oleh kedua tahap sebelumnya yang
berupa anteseden dan transaksi. Model Stake tersebut menuntut evaluator untuk
secara berkesinambungan terlibat dalam proses penilaian, yaitu baik pada tahap
permulaan, selama berlangsungnya program, maupun setelah diperolehnya hasil
program itu sendiri.
b)
Model CIPP (Context, Input, Process, and
Product)
Penilaian menurut model ini
dilukiskan sebagai proses melukiskan informasi yang diperlukan, mendapatkan
informasi itu, dan kemudian memberikan informasi itu sebagai bahan membuat
keputusan. Untuk melakukan penilaian terhadap program pendidikan, diperlukan
empat macam jenis penilaian yang keempatnya harus merupakan suatu proses yang
berlangsung terus-menerus. Keempat jenis penilaian yang dimaksudkan adalah (1)
penilaian konteks yang berkaitan dengan tujuan, (2) penilaian masukan yang
berguna untuk pengambilan keputusan dalam desain, (3) penilaian proses yang
membimbing langkah operasional dalam pembuatan keputusan, dan (4) penilaian
keluaran yang memberikan data sebagai bahan pembuatan keputusan (Saylor and
Alexander:307).
Penilaian konteks yang merupakan
jenis penilaian yang paling dasar, berupa usaha penemuan kebutuhan-kebutuhan
siswa dengan berbagai masalah yang berkaitan. Penilaian ini lebih bersifat
deskriptif dan komparatif, dan kesimpulan yang diperoleh akan dipergunakan
untuk menentukan tujuan-tujuan yang yang dijadikan titik pangkal program pendidikan.
Penilaian masukan diharapkan dapat memberikan informasi mengenai bagaimana
mempergunakan sumber-sumber untuk mencapai tujuan. Ia berusaha mencari
informasi yang dipergunakan untuk menilai adanya beberapa alternatif strategi
yang dapat dipilih. Oleh karena itu, penilaian jenis ini akan membantu pihak
pengambil keputusan untuk memilih dan mendesain prosedur yang kiranya sesuai
untuk mencapai tujuan program.
Penilaian proses dilakukan bila
program pengajaran telah berlangsung. Penilaian proses brtugas memonitor proses
pengajaran untuk membantu pengambilan keputusan dalam mengatasi
kesulitan-kesulitan. Sedangkan penilaian keluaran berusaha mengukur dan
menginterpretasikan pencapaian suatu program. Penilaian keluaran akan membantu
pihak pengambil keputusan, apakah suatu program perlu dilanjutkanm diakhiri,
atau dimodifikasi.
c)
Model Penilaian Ten Brink
Tahap penilaian ini melalui 3 tahap
yaitu tahap persiapan, pengumpulan data, dan penilaian (yang diikuti laporan
hasil penilaian). Tahap persiapan terdiri dari beberapa langkah yaitu (1)
melukiskan secara spesifik pertimbangan dan keputusan yang akan dibuat, hal ini
akan menentukan jenis informasi yang diperlukan secara tepat; (2) melukiskan
informasi yang diperlukan; (3) memanfaatkan informasi yang telah ada; (4)
menentukan kapan dan bagaimana cara memperoleh informasi itu; (5) menyusun dan
memilih instrument pengumpulan informasi yang akan dipergunakan.
Tahap kedua dalam model ini adalah
pengumpulan data melalui dua langkah, yaitu (1) memperoleh infromasi yang
diperlukan; (2) menganalisis dan mencatat informasi. Tahap ketiga adalah
penilaian yang berisi kegiatan-kegiatan (1) membuat pertimbangan yang akan
dipergunakan sebagai dasar pembuatan keputusan; (2) membuat keputusan yang
merupakan suatu pilihan terhadap beberapa alternative arah tindakan; (3)
mengikhtisarkan dan melaporkan hasil penilaian.
b.
Aspek Kurikulum yang dinilai
Aspek-aspek penilaian kurikulum
yang dinilai yaitu:
1)
Tujuan
Komponen tujuan yang dievaluasi
terutama adalh tujuan kurikuler dan instruksional yang pencapaiannya dibebankan
pada tiap mata pelajaran. Tujuan itu dinilai dalam kaitannya dengan tujuan
jenjang di atasnya (tujuan institusional yang dikaitkan dengan tujuan
nasional). Penilaian itu dilakukan dengan menjawab pertanyaan: apakah
tujuan-tujuan itu mencerminkan tujuan-tujuan institusional, apakah perumusannya
jelas, tepat dan tidak membingungkan, jelas pengorganisasiannya tepat
urutannya, sesuai dengan perkembangan siswa, bagaimanakah kesesuaian antara
tujuan dengan hasil yang dicapai.
2)
Isi Kurikulum
Penilaian komponen ini mencakup
semua program yang diprogramkan untuk mecapai tujuan. Komponen isi mliputi
semua jenis mata pelajaran yang harus diajarkan dan pokok-pokok bahasan dan
atau bahan pengajaran yang meliputi seluruh mata pelajaran tersbut
3)
Strategi pengajaran
Penilaian ini meliputi berbagai
upaya yang ditempuh demi tercapainya tujuan berdasarkan bahan pengajaran yang
telah ditetapkan. Komponen ini meliputi berbagai macam pendekatan yang dipilih,
metode-metode, dan berbagai teknik pengajaran, sistem penilaian pencapaian
hasil belajar siswa baik yang berupa penilaian proses maupun hasil yang
diperoleh, serta peralatan (instrument) yang digunakan.
4)
Proses belajar mengajar
Penilaian komponen ini erat
kaitannya dengan strategi pengajaran yang mencakup keseluruhan proses belajar
mengajar untuk masing-masing mata pelajaran yang meliputi perumusan tujuan,
pemilihan bahan pengajaran, pemilihan metode, kegiatan belajar siswa, alat-alat
pelajaran yang dipergunakan, sistem penilaian yang dipergunakan, dan tindak
lanjut yang dilakukan.
5)
Media pengajaran
Penilaian ini dinilai berdasarkan
kesesuaiannya dengan tujuan, bahan pengajaran, kebutuhan pengalaman siswa,
kesesuaiannya dengan kemampuan dan keterampilan pengajar, efektivitasnya dengan
sarana penunjang, kemungkinan pengadaannya sesuai dengan dana yang tersedia,
ketepatan dari segi siswa, waktu, tempat, dsb.
6)
Komponen penunjang
Komponen penunjang ini berupa
komponen yang menunjang dalam keberhasilan pelaksanaan kurikulum yang dapat
berupa sistem pelayanan bimbingan dan penyuluhan, sestem penilaian pencapaian
hasil belajar siswa maupun sistem administrasi dan supervise pendidikan.
Penilaian dilihat dari segi ketepatan program, kesesuaiannya dengan tujuan,
sumbangan terhadap kelancaran pelaksanaan kurikulum, dan sebagainya.
7)
Hasil yang dicapai
Hasil yang dicapai ini mencakup
keluaran, efek, dan dampak. Penilaian terhadap hasil yang dicapai dalam
pelaksanaan kurikulum antara lain dapat dilakukan dengan menganalisis hasil
monitoring, tes nasional, dan hasil-hasil studi lainnya yang telah dilakukan.
6.
Syarat Penilaian Kurikulum
Syarat-syarat
penilaian kurikulum dimaksudkan agar penilaian itu dapat berfungsi sebagaimana
yang diharapkan. Persyaratan yang dimaksud berdasarkan Depdikbud, 1982/1983
yaitu:
a.
Berorientasi pada tujuan
b.
Berkesinambungan
c.
Komrehensif
d.
Berfungsi ganda
e.
Mendasarkan diri pada kriteria.
C. Mengembangkan Kurikulum Muatan
Lokal
1.
Muatan Lokal dalam Kurikulum
KTSP
adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di
masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat
satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan,
kalender dan silabus. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk
mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan cirri khas dan potensi daerah,
termasuk keunggulan daerah yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam
mata pelajaran yang ada. Subtansi mata pelajaran muatan lokal ditentukan oleh
satuan pendidikan, tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan. Muatan
lokal merupakan bagian dari struktur dan muatan kurikulum yang terdapat pada
Standar Isi di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan. Keberadaan muatan
lokal ini merupakan penyelenggaraan pendidikan yang tidak terpusat sebagai
upaya untuk peningkatan relevansinya keadaan dan kebutuhan di daerah yang
bersangkutan. Selain itu juga muatan lokal merupakan mata pelajaran sehingga
satuan pendidikan harus mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar
untuk setiap jenis muatan lokal yang diselenggarakan. Satuan pendidikan dapat
menyelenggaran satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti
bahwa dalam satu tahun pendidikan dapat menyelenggaran dua mata pelajaran
muatan lokal.
2.
Ruang lingkup
Ruang
lingkup muatan lokal sebagai berikut :
a.
Lingkup keadaan dan kebutuhan daerah.
Keadaan daerah merupakan segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat di
suatu daerah untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf hidup masyarakat
tertentu yang disesuaikan dnegan arah perkembangan daerah serta potensi daerah
yang bersangkutan.
b.
Lingkup isi/jenis muatan lokal, dapat
berupa: bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah, keterampilan dan
kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai cirri khas
lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu oleh daerah yang
bersangkutan.
3.
Pengembangan Mata Pelajaran Muatan Lokal
Pemberlakuan
KTSP membawa implikasi bagi sekolah dalam melaksanakan KBM sejumlah mata
pelajaran. Namun untuk mata pelajaran muatan lokal yang merupakan kegiatan kurikuler
yang harus diajarkan dikelas tidka mempunyai standar kompetensi dan kompetensi
kasarnya yang tidak seperti mata pelajaran lainnya. Hal ini menjadikan kendala
bagi sekolah untuk menerapkan mata pelajaran muatan lokal. Pengembangan standar
kompetensi dan kompetensi dasar untuk pelajaran muatan lokal bukanlah hal yang
mudah karena harus dipersiapkan berbagai hal untuk dapat mengembangkan mata
pelajaran muatan lokal.
Ada
dua pola pengembangan mata pelajaran muatan lokal dalam rangka menghadapi
pelaksanaan KTSP. Pola tersebut adalah :
a.
Pengembangan muatan lokal sesuai dengan
kondisi sekolah saat ini
Langkah ilangkah pengembangan mata
peljaran muatan lokal yang sekolahnya tidak mampu mengembangkannya. Sebagai
berikut:
1)
Analisi mata pelajaran muatan lokal yang
ada di sekolah. Apakah masih layak dan relevan mata pelajaran muatan lokal
diterapkan di skeolah ?
2)
Apabila mata pelajaran muatan lokal
masih layak digunakan, hal selanjutnya adalah mengubah mata pelajaran muatan
lokal ke dalam SK dan KD
3)
Apabila mata pelajaran muatan lokal
tidak layak diterapkan, sekolah bisa menggunakan mata pelajaran muatan lokal
dari sekolah lain atau tetap menggunakan mata pelajaran muatan lokal yang
ditawarkan oleh dinas atau mengembangkan muatan lokal yang lebih sesuai.
b.
Pengembangan muatan lokal dalam KTSP
Pengembangan mata pelajaran muatan
lokal sepenuhnya ditangani oleh sekolah dan komite sekolah ynag membutuhkan
penanganan secara professional dalam merencanakan, mengelola, dan
melaksanakannya. Dengan demikian, di samping mendukung pembangunan daerah dan
pembangunan nasional, perencanaan, pengelolaan maupun pelaksanaan muatan lokal
memperhatikan keseimbangan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Perkembangan mata pelajaran muatan
lokal oleh sekolah dan komite sekolah dapat dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1)
Mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan
daerah
Hal ini dilakukan supaya
didapatkannya data yang dapat menjelaskan spek sosial, ekonomi, budaya dan
kekayaan alam . data tersebut dapat diperoleh dari Pemda/Bappeda. Kebutuhan
daerah dapat diketahui untuk rencana pembangunan daerah bersangkutan termasuk
prioritas pembangunan daerah baik jangka pendek, panjang maupun berkelanjutan,
pengembangan ketenagakerjaan termasuk jenis kemampuan dan keterampilan yang
diperlukan, dan aspirasi masyarakat menegnai pelestarian alam dan pengembangan
daerahnya serta konservasi alam dan pemberdayaannya.
2)
Menentukan fungsi dan susunan atau
komposisi muatan lokal
Dari beberapa sumber seperti diatas
dapat diperoleh berbagai jenis kebutuhan yang akan mencermikan fungsi muatan
lokal, antara lain untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah,
meningkatkan keterampilan di bidnag pekerjaan tertentu, meningkatkan kemampuan
berwiraswasta, dan meningkatkan penguasaan bahasa Inggris untuk keperluan
sehari-hari.
3)
Membuat bahan kajian muatan lokal
Kegiatan ini bertujuan untuk
mendata dan mengkaji berbagai muatan lokal yang dapat diangkat sebagai bahan
kajian sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sekolah. Penentuan bahan kajian
muatan lokal didasarkan pada kriteria
seperti kesesuaian dengan tingkat perkembangan peserta didik, kemampuan
guru dan ketersediaan tenaga pendidik yang diperlukan, tersedianya sarana dan
prasarana, tidak bertentangan dengan agama dan nilai leluhur bangsa, tidak
menimbulkan kerawanan sosial dan keamanan, kelayakan berkaitan dengan
pelaksanaan di sekolah dan lain-lain yang dapat dikembangkan sendiri sesuai
dengan kondisi dan situasi daeerah.
4)
Menentukan mata pelajaran muatan lokal
Kegiatan
pembelajaran ini pada dasarnya dirancang supaya bahan kajian muatan lokal dapat
memberikan bekal, pengetahuan, keterampilan, dan perilaku keapada siswa supaya
mereka memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan
masyarakat sesuai dengan milai-nilai/aturan berlaku didaerahnya dan mendukung
kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional.
5)
Mengembangkan Standar Kompetensi dan
Kopetensi Dasar serta silabus dengan mengacu pada standar isi yang diterapkan
oleh BSNP
a)
Pengembangan Standar Kompetensi dan
Kopetensi Dasar merupakan langkah awal supaya mata pelajaran muatan lokal dapat
dilaksanakan. Langkah-langkah dalam mengembangkan Standar Kompetensi dan Kopetensi Dasar adalah
:
(1)
Pengembangan Standar Kompetensi
Standar Kompetensi menentukan
kompetensi yang didasarkan pada materi sebagai basis pengetahuan.
(2)
Pengembangan Kopetensi Dasar
Kopetensi Dasar merupakan
kompetensi yang harus dikuasai siswa, penentuan ini dilakukan dengan melibatkan
guru, ahli bidang kajian, ahli dari instansi lain yang sesuai.
b)
Pengembangan silabus secara umum
mencakup:
Mengembangkan indicator,
mengidentifikasi materi pembelajaran, Mengembangkan kegiatan pembelajaran,
mengalokasikan waktu, mengembangkan penilaian, dan menentukan sumber belajar.
4.
Pihak yang terlibat dalam pengembangan
Sekolah dan
komite sekolah mempunyai wewenang penuh dalam mengembangkan program muatan
lokal, sekolah dan komite sekolah dapat bekerja sama dengan unsure-unsur
Depdiknas seperti Tim pengembang Kurikulum (TPK) di daerah, Lembaga Penjaminan
Mutu Pendidikan (LPMP), Perguruan Tinggi, dan istansi/lembaga di luar
Depdiknas, misalnya pemerintah daerah atau Bapeda, Dinas departemen lain
terkait, dunia usaha/industry, tokoh masyarakat. Peran, tugas dan tangggung
jawab TPK secara umum adalah mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan daerah
masing-masing, menentukan komposisi/susunan jenis muatan lokal,
mengidentifikasi bahan kajian muatan lokal sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
masyarakat, menentukan prioritas bahan kajian muatan lokal, dan mengembangkan
silabus muatan lokal.
Peran perguruan
tinggi dan LPMP adalah memberikan bimbingan dan bantuan teknis dalam
mengidentifikasi dan menjabarkan keadaan, potensi dan kebutuhan dalam komposisi
muatan lokal, menentukkan masing-masing bahan kajian/pelajaran, menentukkan
metode pengajaran yang sesuai dengan peserta didik dan bahan kajian.
Peran instansi
di luar Depdiknas secara umum adalah memberikan informasi mengenai potensi
daerah yang bersangkutan, memberikan gambaran mengenai kemampuan-kemampuan yang
diperlukan pada sector-sektor tertentu, dan memberi sumbangan pemikiran
pertimbangan dan tenaga dalam menentukkan muatan lokal yang sesuai dengan norma
setempat.
5.
Rambu-rambu Pelaksanaan Muatan Lokal
Berikut ini
rambu-rambu untuk diperhatikan dalam pelaksanaan muatan lokal :
a.
Sekolah yang mampu mengembangkan standar
kompetensi dan kompetensi dasar beserta silabusnya dapat melaksanakan mata
pelajaran muatan lokal.
b.
Bahan kajian hendaknya sesuai dengan
tingkat perkembangan peserta didik yang mencakup perkembangan pengetahuan dan
cara berfikir, emosional, dan sosial peserta didik.
c.
Program pengajaran hendaknya
dikembangkan dengan melihat kedekatan dengan peserta didik yang meliputi dekat
secara fisik dan secara psikis.
d.
Bahan kajian/pelajaran hendaknya
memberikan keluwasan bagi guru dan memilih metode mengajar dan sumber belajar
seperti buku dan narasumber.
e.
Bahan kajian muatan lokal yang diajarkan
harus bersifat utuh artinya yang kemgacu kepada suatu tujuan pembelajaran
supaya dapat bermakna kepada peserta didik.
f.
Alokasi waktu untuk bahan
kajian/pelajaran muatan lokal perlu memperhatikan jumlah minggu efektif untuk
mata pelajaran muatan lokal pada setiap semester.
6.
Silabus
Komponen silabus
minimal memuat: identifikasi sekolah, standar kompetensi dan kompetensi dasar,
materi pembelajaran, materi pembelajaran, indicator, kegiatan pembelajaran,
alokasi waktu, penilaian dan sumber belajar.
7.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Setelah silabus
selesai dibuat, guru perlu merencanakan pelaksanaan pembelajaran untuk satu
kali tatap muka. Pembelajaran minimal memuat tujuan pembelajaran, indicator,
materi ajar/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, metode pembelajaran, dan
sumber belajar.
8.
Penilaian
Penilaian
merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan
data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara
sistematis dan berkesinambungan sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam
pengambilan keputusan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian adalah
penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian kompetensi, penilaian menggunakan
acuan kriteria (berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta didik setelah
mengikuti proses pembelajaran), sistem yang direncanakan adalah sistem
penilaian yang berkelanjutan, hasil penilaian dianalisis untuk menentukan
tindak lanjut dan sistem penilaian harus disesuaikan dengan pengalaman belajar
yang ditempuh dalam proses pembelajaran.
D. Pengembangan Diri dalam Kurikulum
1.
Hakikat Pengembangan Diri
Istilah
pengembangan diri di sini tampaknya dapat disepadankan dengan istilah
pengembangan kepribadian yang sudah lazzim digunakan dan banyak dikenal.
Meskipun sebetulnya istilah diri (self) tidak sepenuhnya identik dengan
kepribadian (personality). Istilah diri dalam bahasa psikologi disebut pula
sebagai aku, ego atau self yang merupakan salah satu aspek sekaligus inti dari
kepribadian. Di dalam istilah tersebut meliputi segala kepercayaan, sikap
perasaan dan cita-cita baik yang disadari maupun tidak.
2.
Pelaksanaan kegiatan pengembangan diri
Secara
konseptual, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
kita mendapati rumusan tentang pengembangan diri sebagai berikut “pengembangan
diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus disusun oleh guur. Pengembangan
diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan
dan mengekspresiakn diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap
peserta didik sesuai dnegan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri
difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang
dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan
diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dnegan
masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajarm dan pengembangan karier
peserta didik.”
Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan terjadi pengurangan jumlah jam efektif setiap
minggunya. Namun dengan adanya pengembangan diri, sebetulnya aktivitas
pembelajaran diri siswa tidaklah berkurang.
Siswa justru akan lebih disibukkan lagi dengan berbagai kegiatan pengembangan
diri yang lebih bersifat ekspresif, tanpa “terkerangkeng” di dalam ruangan
kelas. Dalam hal ini peran bimbingan dan konseling menjadi sangat penting.
Tetapi sekarang ini bimbingan dan konseling lebih mengutamakan pendekatan
pengembangan diri dibandingkan pendekatan klinis. Dalam hal ini, Sofyan S.
Willis (2005) mengemukakan perbedaan kedua pendekatan tersebut :
Pendekatan
pengembangan diri bersifat pedagogis, melihat potensi siswa, berorientasi
pengembangan potensi positif siswa, menggembirakan siswa, dialog konselor
menyentuh siswa, siswa terbuak, bersifat himanistik-religius, siswa sebagai
subjek memegang peranan, memutuskan tentang dirinya, dan konselor hanya
membantu dan memberi alternatif.
Pendektan
klinis lebih bersifat klinis, melihat kelemahan klien, berorientasi pemecahan
masalah siswa, konselor serius, siswa sering tertutup, dialog menekan perasaan
siswa dan siswa sebagai objek. Dengan demikian, layanan bimbingan dan konseling
yang memiliki fungsi pengembangan seperti layanan pembeljaran, penempatan dan
bimbingan kelompok. Dari uraian diatas tampak bahwa pengembangan diri akan
mencakup banyak kegiatan sekaligus juga banyak melibatkan orang. Untuk itu
diperlukan pengelolaan dan pengorganisasian tersendiri.
Pengembangan
diri di sekolah merupakan salah satu komponen penting dari struktur Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diarahkan guna terbentuknya keyakinan,
sikap, perasaan, dan cita-cita para peserta didik yang realistis.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat
kami simpulkan bahwa didalam manajemen kurikulum terdapat fungsi-fungsi yang
mendukung dalam penyelenggaran kurikulum pendidikan yaitu pengelolaan
perencanaan kurikulum, pengelolaan implementasi kurikulum, pengelolaan
pelaksanaan evaluasi kurikulum, pengelolaan perumusan penetapan kriteria dan
pelaksanaan kenaikan kelas/kelulusan, pengelolaan pengembangan bahan ajar,
media pembelajaran, dan sumber belajar. Istilah kurikulum semula berasal dari
istilah yang dipergunakan dalam dunia atletik curere yang berarti “berlari”. Istilah tersebut erat hubungannya
dengan kata curier atau kurir yang
berarti penghubung atau seseorang yang bertugas menyampaikan sesuatu kepada
orang atau tempat lain. Seorang kurir
harus menempuh suatu perjalanan untuk mencapai tujuan, maka istilah kurikulum
kemudian diartikan orang sebagai “suatu jarak yang harus ditempuh” (Nasution,
1980:5) Dari istilah atletik, kurikulum mengalami perpindahan arti ke dunia
pendidikan. Pengertian kurikulum yang tercantum dalam Webster’s International Dictionary yaitu curriculum is a course, a specified fixed course of study, as in a
school or college, as one leading to a degree. Kurikulum kemudian diartikan
sebagai sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang ditempuh atau
dikuasai untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau ijazah. Namun, seiring
perkembangan zaman, pengertian tersebut dianggap kuno atau tradisional karena
terlalu sempit dan terbatas. Jadi dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah
esuatu yang mendasari adanya pembelajarn yang didalamnya terdapat aspek-aspek
yang menjadikan indicator untuk pencapain dalam pembelajaran.
Daftar
Pustaka
Nurgiyantoro, Burhan. 1988. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah. Yogyakarta:
BPFE Yogyakarta
Nasution, S. 1980. Asas-Asas Kurikulum. Bandung: Jemmars
Rusman. 2011. Manajemen Kurikulum. : Rajawali Pers
Rusman. 2011. Manajemen
Kurikulum. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada
Surahmad, Winarno. 1977. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Proyek Pengadaan
Buku Sekolah Pendidikan Guru
Syam, Moh. Noor. 1978. Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang: Badan Penerbitan FIP IKIP
Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar