Masyarakat
Desa Kota
“Perekonomian
Masyarakat Desa”
Disusun
oleh:
Hertin Eka Rahmawati 14416241027
Sri
Wulandari 14416241045
Caecilia
Erika Pawestri 14416241047
Pendidikan IPS
(A) 2014
Fakultas
Ilmu Sosial
Universitas
Negeri Yogyakarta
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi tidak selalu mencerminkan distribusi pendapatan yang adil
dan merata. Sebab, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini hanya dinikmati oleh
sekelompok kecil masyarakat, seperti: masyarakat perkotaan, sedangkan
masyarakat pedesaan atau pinggiran mendapat porsi yang kecil dan tertinggal.
Kesenjangan di daerah ini semakin diperburuk karena adanya kesenjangan dalam
pembangunan antar sektor, terutama antara sektor pertanian (basis ekonomi
pedesaan) dan non-pertanian (ekonomi perkotaan). Ketidakberdayaan masyarakat pedesaan salah satunya akibat kebijakan yang
mismatch di masa lalu, yaitu kebijakan yang melupakan sektor pertanian sebagai
dasar keunggulan komparatif maupun kompetitif. Sesungguhnya pemberdayaan
ekonomi masyarakat pedesaan bukan hanya bermanfaat bagi masyarakat pedesaan itu
sendiri, tetapi juga membangun kekuatan ekonomi Indonesia berdasarkan kepada
keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki Titik berat pembangunan jangka panjang adalah pembangunan bidang ekonomi
dengan sasaran utama mencapai keseimbangan antara bidang pertanian dengan
industri. Untuk mencapai ini diperlukan kekuatan dan kemampuan sektor pertanian
guna menunjang pertumbuhan di sektor industri yang kuat dan maju. Kondisi
tersebut dapat dilihat dari arah pembangunan oleh pemerintah yakni membangun
sektor pertanian yang tangguh. Hal tersebut sangat beralasan karena lebih dari
70% penduduk di pedesaan bergantung pada sumber pendapatan dari pertanian (www.wbh.or.id). Dan hal yang demikian membuat system perekonomian
masyarakat desa menjadi memudar. Sistem perekonomian masyarakat desa atau
system ekonomi subsitensi. Ekonomi subsitensi mengandung makna hemat bagi para
penduduk desa yang umunya bertani, menjauhkan diri dari sikap konsumtif yang
mencolok dan kurang hemat, seperti kebnayakan penduduk kota.
Hal ini di tunjang oleh harkat keterpandangan suatu keluarga di desa yang
sangat di tentukan oleh keberhasilan membina ketenangan keluarga, luas tanah
pertanian, banyaknya ternak, kendaraan yang digunakan kerja harta warisan, dan
kesemuanya dapat dilihat dengan mata serta berjangka guna dalam waktu relative
panjang. Sehingga dapat dikatakan system ekonomi subssitensi berlawanan dengan
ekonomi pasar yang merupakan dasar pola konsumtif masyarakat kota. Walaupun
akhir-akhir ini dikembangkan pola keterbukaan informasi yang menelusup di
berbagai segi kehidupan, pola ekonomi subsistensi tetap bertahan di kawasan pedesaaan.
Terlebih-lebih didesa yang terisolir, pola system subsistensi tetap mendominir
(Hasan, Zaini & Salladin, 1996: 252).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut adanya sebuah permasalahan yaitu
1.
Apa Pengertian Desa?
2.
Apa Ciri-Ciri
Perekonomian Desa?
3. Bagaimana
Struktur Perekonomian Desa?
4. Bagaimana Perekonomian Masyarakat Desa?
5. Bagaimana Perubahan Perekonomian Desa?
6. Apa Contoh Perekonomian Masyarakat
Desa?
7. Bagaimana Gambaran Ekonomi Subsistensi?
C. Tujuan
Berdasarkan
latar belakang tersebut tujuan dari penyusanan makalah tersebut adalah
1.
Mengetahui Pengertian Desa
2.
Mengetahui Ciri-Ciri
Perekonomian Desa
3. Mengetahui
Struktur Perekonomian Desa
4. Mengetahui Perekonomian Masyarakat Desa
5. Mengetahui Perubahan Perekonomian Desa
6. Mengetahui Contoh Perekonomian Masyarakat
Desa
7. Mengetahui Gambaran Ekonomi Subsistensi
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
desa
Desa dalam pengertian umum menurut mendia UNAND adalah sebagai suatu gejala yang
bersifat universal, terdapat dimana pun di dunia ini, sebagai suatu komunitas
kecil, yang terikat pada lokalitas tertentu baik sebagai tempat tinggal (secara
menetap) maupun bagi pemenuhan kebutuhannya, dan yang terutama yang tergantung
pada sektor pertanian (fisip.unand.ac.id).
Pengertian Desa secara umum lebih
sering dikaitkan dengan pertanian. Misalnya, Egon E. Bergel (1955: 121),
mendefinisikan desa sebagai “setiap pemukiman para petani (peasants)”.
Sebenarnya, faktor pertanian bukanlah ciri yang harus melekat pada setiap desa.
Ciri utama yang terlekat pada setiap desa adalah fungsinya sebagai tempat
tinggal (menetap) dari suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil.
Landis
(eprints.uny.ac.id) terdapat tiga definisi tentang desa yaitu pertama
desa itu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2.500 orang, kedua desa adalah
suatu lingkungan yang penduduknya mempunyai hubungan yang saling akrab serba
informal satu sama lain, dan yang ketiga desa adalah suatu lingkungan yang
penduduknya hidup dari pertanian Menurut UU
no 22 tahun 1999 (file.upi.edu) tentang
pemerintah daerah pasal I yang dimaksud dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mngatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan
nasional dan berada di daerah
kabupaten
Serta
menurut UU no 6 tahun 2014 pasal 1 tentang desa menjelaskan bahwa Desa
adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa,
adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
R.Bintarto
(1983:11) menjelaskan desa ialah
“suatu hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan
lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu ialah sautu wujud atau kenampakan di
muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi,
politik dan cultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut dan juga
dalam hubungannya dengan daerah-daerah lain”
Sementara itu dalam media UNAND pengertian desa menurut Koentjaraningrat (1977) ialah melalui pemilahan pengertian
komunitas dalam dua jenis, yaitu komunitas besar (seperti: kota, negara bagian, negara) dan komunitas kecil (seperti: band, desa, rukun tetangga
dan sebagainya). Dalam hal ini Koentjaraningrat mendefinisikan desa sebagai
“komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat” (1977:162). Koentjaraningrat tidak memberikan penegasan bahwa komunitas
desa secara khusus tergantung pada sektor pertanian. Dengan kata lain artinya
bahwa masyarakat desa sebagai sebuah komunitas kecil itu dapat saja memiliki
ciri-ciri aktivitas ekonomi yang beragam, tidak di sektor pertanian saja.
Selanjutnya, menurut Paul H. Landis
(1948:12-13), seorang sarjana sosiologi perdesaan dari Amerika Serikat,
mengemukakan definisi tentang desa dengan cara membuat tiga pemilahan
berdasarkan pada tujuan analisis. Untuk tujuan analisis statistik, desa didefinisikan sebagai
suatu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2500 orang. Untuk tujuan analisa sosial-psikologi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan
yang akrab dan serba informal di antara sesama warganya. Sedangkan untuk tujuan analisa ekonomi, desa
didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya tergantung kepada
pertanian (fisip.unand.ac.id, 2013).
Menurut
kompasiana desa adalah suatu kesatuan hukum dimana
bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri, atau desa merupakan
perwujudan atau kesatuan goegrafi ,sosial, ekonomi, politik dan kultur yang
terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara
timbal balik dengan daerah lain. Suatu pedesaan masih sulit umtuk berkembang,
bukannya mereka tidak mau berkembang tapi suatu hal yang baru terkadang
bertentangan dengan apa yang leluhur hereka ajarkan karna itu masyarakat pedasaan
sangat tertutup dengan hal-hal yang baru karena mereka masih memegang teguh
adat-adat yang leluhur mereka ajarkan. Disuatu desa sangat terjangkau fasilitas
seperti rumah sakit, sekolah, apotik atau prasarana dlm hal pendidikan dan
kesehatan maupun teknologi mereka masih mengandalkan dukun atau paranormal dlm
hal kesehatan mungkin hanya puskesmas yang ada di desa tapi itupun belum tentu
ada di setiap daerah. Maupun pendidikan masih kurangnya sarana pendidikan
didesa didlm sutu kecamatan terkadang hanya satu atau dua sekolahan saja,
karena susahnya bantuan masuk dari pemerintah untuk membangun sekolah-sekolah
di daerah desa dan terkadang jarang guru yang mau mengajar di daerah
pedesaan (www.kompasiana.com, 2011).
Dengan
demikian penegrtian desa jelas memberi gambaran suatu kelompok manusia atau
masyarakat yang aktivitasnya berkaitan dengan elemen lingkungan alam atau
lingkungan fisik maupun sosial kemasyarakatan, dan memiliki komunikasi dengan
daerah lain, secara lancer dan terbuka dan kurang lancer atau terisolir dari
dan dengan daerah lain.
B.
Ciri-Ciri
Perekonomian Desa
Menurut
kompasiana cirri yang menonjol pada masyarakat
pedesaan yaitu :
1.
Kehidupan didesa masyarakatnya
masih memegang teguh keagamaan atau adat dari leluhur mereka.
2.
Warga pedesaan lebih condong
saling tolong-menolong tidak hidup individualisme
3.
Warga pedesaan mayoritas memiliki
pekerjaan sebagai petani.
4.
Fasilitas-fasilitas masih sulit
ditemukan dipedesaan
5.
Warganya masih sulit untuk
menerima hal baru atau mereka tertutup dengan hal-hal yang baru
C.
Struktur
Perekonomian Desa
Sebagai masyarakat pedesaan, sudah
barang tentu dengan segala kearifannya masyarakat selalu memanfaatkan seoptimal
mungkin potensi almnya, mulai dari bertami, berkebun, berternak dan industri
bata. Ketergentungan mereka terhadap lahan sangat kental nuansa ekonomi maupun
sosialnya. Sacara ekonomis, lahan dapat menjadi sumber kehidupan ekonomi
keluarga selain itu, mereka juga melakukan aktivitas penunjang atau usaha
sambilan yang diposisikan sebagai bentuk memenuhi kepentingan makan. Menurut
tradisi masyarakat berternak sebenranya tidak hanya menjadi bagian untuk
meunjang ekonomi keluarga, tetapi juga bisa menjadi bentuk investasi keluarga,
yang bisa di gunakan untuk biaya mendirikan rumah, pernikahan, atau pendidikan
anak.
Dengan cara produksi dan pendapatan
ekonomi keluarga, dapat diketahui bahwa lapangan kerja masyarakat masih relatif
homogen. Dalam hubungan ini, norma-norma dan tradisi yang mengatur pengolahan
lahan diharapkan bida arif dan bijaksana, karena fungsi lahan juga mengandung
nilai-nilai sosial yang perlu dikembngkan jika komunitas ini butuh
perkembangannya.
D.
Perekonomian Masyarakat Desa
Ketimpangan
pertumbuhan penduduk kawasan pedesaan dan perkotaan yang terjadi akhir-akhir
iniperlu diamati dengan cermat. Karena apabila tidak di antisipasi secara dini
akan dapat menimbulkan permasalahan yang rumit dan berkepanjangan, khususnya di
bidang sosial. Pembangunan desa yang cukup berhasil khusunya dalam program
permasyarakatan keluarga berencana ataupun karena fasilitas desa yang bertambah
sehingga mampu mengubah status dari desa-desa menjadi kota-desa. Tapi apabila
hal tersebut di akibatkan karena arus urbanisasi semata maka akan menjadi
sebuah permasalahan didesa. Menurut klasifikasi sosial-budaya yang di seluruh
Indoensia terdiri dari kurang lebih 5000 jenis bahasa daerah, sehingga
tampaknya dari segi bahasa sangat heterogen. Namun, bila kita amati lebih dalam
ternyata cenderung adanya homogenitas masyarakat pedesaaan. Kenampakannya lebih
cenderung ke arah memegang teguh tradisi, mantapnya etnosentrisme masyarakat
kawasan pedesaan.
Ekonomi
Subsistensi. Berbeda dengan pedesaan di Negara-megara Eropa, Amerika, maupun
Australia, penduduk pedesaan Indonesia lebih menyakini keterbukaan ada para
pendatang, lebih bersahabat, dan lebih murah senyum. Bahkan nilai-nilai
komerialisme tidak tampak, yang menonjol nilai gotong-royong (Hasan, Zaini
& Salladin, 1996: 251).
Adapun yang dimaksud dengan
gotong-royong menurut Koentjaraningrat sebagi berikut
“…. dalam
kehidupan masyarakat desa di Jawa, gotong-royong merupakan suatu system
pengnerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi
kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitas produksi
bercoccok tanam di sawa” (Bintarto, 1980:9)
Untuk keperluan itu seseorang
meinta dengan adat sopan santun kepada beberapa orang lain sedesanya untuk
membantunya dalam hal bertani maupun kegiatan lain di luar pertanian, tanpa
memungut biaya, namun petani tersebut harus berkewajiban untuk membantu apabila
yang dimintai tolong saat ini ganti membutuhkannya (salladien, 1989:3 ( melalui
Hasan, Zaini & Salladin, 1996: 251)). Seiring berkembangnya zaman barter tenaga sekarang berganti
menggunakan upah.
Gotong
royong juga sering dikatakan pula sebagai ekonomi subsitensi Indonesia yang
mengakar dengan tujuan barter tenaga
yang disertai cita-cita luhur demi kesejahteraan dan kebersamaan penduduk desa.
Ekonomi subsitensi mengandung makna hemat bagi para penduduk desa yang umunya
bertani, menjauhkan diri dari sikap konsumtif yang mencolok dan kurang hemat,
seperti kebnayakan penduduk kota.
Hal ini di
tunjang oleh harkat keterpandangan suatu keluarga di desa yang sangat di
tentukan oleh keberhasilan membina ketenangan keluarga, luas tanah pertanian,
banyaknya ternak, kendaraan yang digunakan kerja harta warisan, dan kesemuanya dapat
dilihat dengan mata serta berjangka guna dalam waktu relative panjang. Sehingga
dapat dikatakan system ekonomi subssitensi berlawanan dengan ekonomi pasar yang
merupakan dasar pola konsumtif masyarakat kota. Walaupun akhir-akhir ini
dikembangkan pola keterbukaan informasi yang menelusup di berbagai segi
kehidupan, pola ekonomi subsistensi tetap bertahan di kawasan pedesaaan.
Terlebih-lebih didesa yang terisolir, pola system subsistensi tetap mendominir
(Hasan, Zaini & Salladin, 1996: 252).
E.
Perubahan Perekonomian Desa
Keterbukaan
desa menjadikan desa adalah kepanjangan kota, artinya desa yang terisolir
seratus persen hampir tidak ada, hal itu membawa dampak selain sosial-budaya
yang berubah juga mata pencaharian penduduk yang berubah. Dahulu kala pekerjaan
masyarakat desa umunya di bidang usaha sector tradisional, kemudian berubah ke
sector formal bagi mereka yang berpendidikan, saat ini menuju ke sector
informal, misalnya pedagang kecil tukang becak, tukang ojek, penjaja jasa
lainnya (salladien, 1985: 64 (melaui Hasan, Zaini &
Salladin .1996)). Hal tersebut pula oleh
kemajuan jalur-jalur transpportasi yang mulus. Dampak lebih jauh adanya
keterbukaan desa, mereka berpengharapan pindah ke kota atau urbanisasi akan
dapat meningkatkan penghasilan, pendidikan, pekerjaan, keternagakerjaan dan
sebagainya apabila tanpa upaya kebijakan yang tepa menyebabkan desa hanya
ditinggali oelh mereka yang tua tua, kurang inovatif, kurang terdidik,
berpenyakitan, sehingga dapat merugikan desa itu sendiri.
Pada
masa lampau usaha di bidang pertanian dapat mencukupi kebutuhan tiap keluarga,
pada saat ini penghasilan dari usaha di bidang pertanian kurang mencukupi,
karena luas areal pertanian yang tetap sedangkan jumlah penduduk keluarga
petani makin bertambah, sehingga luas lahan pertanian perkeluarganya menyempit,
dampaknya penghasilan rerarta tiap keluarga petani menurun (salladien 1985:4 (melaui Hasan, Zaini & Salladin .1996)). Disamping itu Clout 1984:35 (melalui Hasan, Zaini & Salladin .1996) kebutuhan tiap keluarga meningkat pula, selarasa dengan informasi yang
diteriam lewat media-media, misalnya dahulu cukup memiliki sepeda tapi sekarang
membutuhkan speeda motor karena jarak tempuh yang jauh, dahulu cukup makan nasi
dan garam sekarang makan-makanan yang lain, dan hal itu membutuhkan dana lebih
tinggi. Maka berupayalah mereka lewat berbagai kegiatan ekonomi, sehingga
akhirnya terjadi ketebukaan ekonomi dan muali meninggalkan system ekonomi subsitensi
yang mononton.
F.
Contoh Perekonomian
Masyarakat Desa
Mata pencaharian pokok
penduduk desa Anjun berdasarkan data dari Kantor Desa Anjun, mayoritas dari
sektor industri, yaitu sekitar 170 orang. Masyarakat dari sektor perdagangan
100 orang dan sektor pertanian 45 orang, yang terdiri dari petani pemilik sawah
15 orang, petani peladang tanah kering 10 orang dan buruh tani 20 orang.
sedangkan pegawai negeri orang yang terdiri dari berbagai instansi
seperti Depdikbud 5 orang, guru 8 orang, Perindustrian 3 orang, Depag 1 orang,
Puskesmas 1 orang, Peternakan 1 orang, Kehakiman 1 orang, dan dari PU 1 orang.
Yang mengabdi di bidang kesehatan ada 3 orang, yaitu sebagai dukun bayi.
Sebagai anggota ABRI 3 orang yang terdiri dari AURI dan Polri. Pensiunan baik
dari pegawi negeri maupun dari ABRI sekitar 8 orang. Terakhir yang bergerak di
bidang pertukangan 15 orang yang terdiri dari tukang kayu 6 orang, tukang batu
6 orang, tukang cukur 1 orang, tukang jahit 1 orang, dan tukang jam 1 orang.
Warga Anjun juga ada yang bergerak di bidang angkutan yaitu 1 orang dan untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Sektor Industri
merupakan pillhan terbanyak penduduk. Hal ini dapat dimengerti mengingat
potensi dan yang cukup besar untuk mengusahakan keramik. Tidak seperti daerah
pedesaan lain, di mana pertanian merupakan sumber yang diandalkan dalam
kehidupan masyarakatnya. Masyarakat desa Anjun kurang tertarik untuk menekuni
bidang pertanian, kecuali bagi petani pemilik. Tanah pertaniannya sebagaian
besar masih dilakukan dengan cara sederhana, tergantung pada curah hujan. Oleh
karena itu persawahannya disebut “Sawah tadah hujan”.
Kehidupan
perekonomian masyarakat Anjun sangat tergantung kepada iklim, misalnya pada
musim banyak hujan dan musim kemarau yang panjang akan menyebabkan perkembangan
ekonomi mereka menurun. Ini dikaitkan dengan keterbatasan waktu untuk melakukan
kegiatan dalam mempersiapkan bahan-bahan baku seperti tanah liat dan lain-lain.
Sedangkan bila cuaca dalam ke daan biasa, ini memang lebih menguntungkan
secara ekonomis (wordpress.com,
2011)
G.
Gambar ekonomi subsistensi
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Desa menurut UU no 6 tahun 2014 pasal 1 adalah desa dan desa
adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pada
masa lampau usaha di bidang pertanian dapat mencukupi kebutuhan tiap keluarga,
pada saat ini penghasilan dari usaha di bidang pertanian kurang mencukupi,
karena luas areal pertanian yang tetap sedangkan jumlah penduduk keluarga
petani makin bertambah, sehingga luas lahan pertanian perkeluarganya menyempit,
dampaknya penghasilan rerarta tiap keluarga petani menurun (salladien 1985:4 (melaui Hasan, Zaini & Salladin .1996)). Disamping itu Clout 1984:35 (melalui Hasan, Zaini & Salladin .1996) kebutuhan tiap keluarga meningkat pula, selarasa dengan informasi yang
diteriam lewat media-media, misalnya dahulu cukup memiliki sepeda tapi sekarang
membutuhkan speeda motor karena jarak tempuh yang jauh, dahulu cukup makan nasi
dan garam sekarang makan-makanan yang lain, dan hal itu membutuhkan dana lebih
tinggi. Maka berupayalah mereka lewat berbagai kegiatan ekonomi, sehingga
akhirnya terjadi ketebukaan ekonomi dan muali meninggalkan system ekonomi
subsitensi yang mononton.
Hal ini di
tunjang oleh harkat keterpandangan suatu keluarga di desa yang sangat di
tentukan oleh keberhasilan membina ketenangan keluarga, luas tanah pertanian,
banyaknya ternak, kendaraan yang digunakan kerja harta warisan, dan kesemuanya
dapat dilihat dengan mata serta berjangka guna dalam waktu relative panjang.
Sehingga dapat dikatakan system ekonomi subssitensi berlawanan dengan ekonomi
pasar yang merupakan dasar pola konsumtif masyarakat kota. Walaupun akhir-akhir
ini dikembangkan pola keterbukaan informasi yang menelusup di berbagai segi
kehidupan, pola ekonomi subsistensi tetap bertahan di kawasan pedesaaan.
Terlebih-lebih didesa yang terisolir, pola system subsistensi tetap mendominir
(Hasan, Zaini & Salladin, 1996: 252).
Daftar Pustaka
Clout, Hugh . 1984. Rural Geography, An Introductory Survey. Toronto:Pegamon Press
Bintarto, R. 1980. Gotong-royong, suatu karakteristik bangsa Indonesia. Surabaya: Bina
Ilmu
Hasan, Zaini & Salladin .1996. Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Salladien. 1985. Permasalahan keluarga urbanit di kotamasdya Surabaya dan kota masya
malang, dari tahun 1976 sampai dengan tahun 1980. Yogyakarta: UGM Press
Anonim. 2012. Corak dan Pola Kehidupan Ekonomi Pedesaan Masyarakat Plered. Dikutip
pada laman https://adrianamurwonegoro.wordpress.com/2011/06/13/corak-dan-pola-kehidupan-ekonomi-pedesaan-masyarakat-plered/ pada tanggal 2 November 2015 pukul 12:02
Anonim. 2012. Ppemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Dikutip pada laman http://www.wbh.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=174:pemberdayaan-ekonomi-masyarakat-pedesaan&catid=52:terkini&Itemid=80 pada tanggal 1
November 2015 pukul 19:42 WIB
Anonim. Dikutip pada laman http://eprints.uny.ac.id/8611/3/BAB%202%20-%2008413244027.pdf pada tanggal 2 November 2015 pukul 12:34 WIB
Indrizal, Edi. Memahami Konsep Perdesaan dan Tipologi Desa Di Indonesia. Dikutip
pada laman http://fisip.unand.ac.id/media/rpkps/EdiIndrizal/M3.pdf pada tanggal 2 November 2015 pukul 10:00 WIB
Santosa, Ayi Budi. Dikutip dari laman http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/196303111989011-AYI_BUDI_SANTOSA/masyarkat_pedesaan/I.pdf pada tanggal 2 November 2015 pukul 10: WIB
Saputra, Octha. 2015. Perbedaan Masyarakat Kota dan desa.
Dikutip pada laman http://www.kompasiana.com/ochtatutgujes/perbedaan-masyarakat-kota-dan-desa_5518947c81331103699de86c pada tanggal 2 November 2015 pukul 12: 45 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar